Jumat, 24 April 2009

ASUMSI DASAR AKUNTANSI PERBANKAN SYARIAH
Oleh : Zakaria Batu Bara, MA


Kita merasa bersyukur dan gembira karena saat ini kajian tentang ekonomi Islam semakin meluas. Maraknya kajian ekonomi Islam ini tentu akan mempengaruhi kajian mikro ekonomi seperti akuntansi. Bagi kita di Indonesia, kajian itu akan semakin terarah dengan telah disahkannya Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Perbankan Syariah di Indonesia (PSAK 59), yang merupakan hasil kerjasama antara Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dengan Bank Indonesia (BI) yang berisi aturan tentang Akuntansi Perbankan Syariah ini telah diterapkan pada 1 Januari 2003.
Dalam pasal 15 dari PSAK 59 itu disebutkan, untuk mencapai tujuannya, laporan keuangan disusun atas dasar akrual. Dengan dasar ini, pengaruh transaksi dan peristiwa lain diakui pada saat kejadian (dan bukan pada saat kas atau secara kas diterima atau dibayar) dan diungkapkan dalam catatan akuntansi serta dilaporkan dalam laporan keuangan pada periode bersangkutan. Laporan keuangan yang disusun atas dasar akrual memberikan informasi kepada pemakai tidak hanya transaksi masa lalu, yang melibatkan penerimaan dan pembayaran kas, tetapi juga kewajiban pembayaran kas di masa depan serta sumber daya yang mempresentasikan kas yang akan diterima di masa depan.
Jadi konsekuensinya, seolah-olah ada pendapatan yang besar. Pada hal, bila dalam beberapa bulan kemudian pendapatan itu tidak jadi diterima, maka pendapatan itu justru akan dijadikan sebagai faktor pengurang.
Dalam kaitannya dengan Laporan Bagi Hasil (LBH) Bank Syariah mengakui pendapatan tersebut dengan pendapatan riil, yaitu pendapatan yang benar-benar secara kas yang telah diterima oleh bank dari hasil investasi dalam aktiva produktif, baik yang berupa pendapatan margin, pendapatan nisbah, maupun pendapatan sewa. Seperti yang diketahui aktiva produktif bank syariah ada 3 (tiga) macam yaitu piutang yang akan menghasilkan margin, pembiayaan yang akan menghasilkan bagi hasil, dan ijarah yang akan menghasilkan pendapatan sewa.
Pada dasarnya bank syariah juga menganut konsep akrual khususnya untuk beban yang diungkapkan dalam laporan laba rugi, sedangkan untuk pendapatan harus dilakukan secara hati-hati tergantung dari opini dewan syariah setempat apakah menggunakan dasar kas atau akrual. Penggunaan dasar kas mengacu pada prinsip kehati-hatian yang berlandaskan ajaran Islam yang mengatakan bahwa “…Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya esok hari…” (an-Nuur: 34) sehingga tidak seharusnya mengakui pendapatan sebelum nyata-nyata berbentuk aliran kas yang secara riil masuk ke bank.
Menurut Ahmad Baraba mengatakan, pengadopsian sistem akrual basis dalam pelaporan keuangan bank konvensional dengan bank syariah berbeda. Bank konvensional katanya, boleh mengakrualkan pendapatan selama itu masuk katagori collectibility atau kalaupun pernah menunggak tidak lebih dari tiga bulan. Di luar itu, tidak boleh diakrualkan. Dia melanjutkan, dengan menggunakan sistem bunga, maka tidak ada korelasi antara apa yang didapatkan dengan apa yang dibayarkan kepada nasabah.
Berbeda dengan bank syariah yang berpolakan bagi hasil. Sebab, bank itu harus menghasilkan pendapatannya. “jadi ada korelasi erat antara pendapatan dan bagi hasil”. Karena itu, katanya, akan sulit melakukan koreksi bila metode akrual basis diterapkan. Seperti misalnya, mencatatkan pendapatan yang belum pasti sebagai bagian pendapatan itu sendiri, dan dikemudian hari pendapatan itu tidak diterima, jadi bagaimana bisa direcord sebagai penghasilan, kalau seperti ini.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk kepentingan laporan keuangan menggunakan dasar akrual sedangkan untuk kepentingan perhitungan bagi hasil mempergunakan dasar kas, yang dalam pelaksanaannya bukan merupakan hal mudah, karena bank syariah dituntut untuk mempunyai administrasi yang baik dan akurat sehingga dapat membedakan pendapatan akrual dan pendapatan yang diterima secara kas.
Adapun alasan penggunaan dasar akrual yakni laporan keuangan dapat diperbandingkan dengan laporan keuangan lembaga lainnya, karena secara umum semua prinsip yang dianut dalam laporan keuangan adalah konsep dasar akrual.
Dalam melakukan pengakuan pendapatan secara akrual ditetapkan ketentuan sebagai berikut :
Pengakuan pendapatan atas aktiva produktif yang performing, yaitu aktiva produktif yang mempunyai kualitas lancer dan dalam perhatian khusus.
Apabila terjadi perubahan pengakuan pendapatan atas aktiva produktif yang non performing, yaitu aktiva produktif dengan kualitas kurang lancer, diragukan, dan macet diterapkan jurnal balik, dan dicatat dalam rekening administrative.
Pengakuan pendapatan akrual untuk penyaluran dengan prinsip bagi hasil (pembiayaan mudharabah dan pembiayaan musyarakah), hanya diperkenankan apabila telah diperoleh laporan pengelolaan dana mudharabah yang dapat dipertanggung jawabkan dengan mudharib (debitur).
Selain asumsi tersebut di atas, untuk memahami akuntansi perbankan syariah secara menyeluruh, hendaknya perlu dipahami asumsi-asumsi dan pengakuan akuntansi dan konsep pengukuran yaitu :

Konsep Unit Akuntansi. Fiqh Islam mengakui bahwa organisasi merupakan suatu unit pertanggung jawaban yang terpisah dari entitas lainnya. Jadi bank syariah dianggap sebagai suatu unit akuntansi terpisah dari para pemiliknya atau pihak lainnya yang telah memberikan dana kepada bank tersebut.

Konsep Going Concern (Keberlanjutan). Untuk menjamin keberlanjutan atau kesinambungan aktivitas suatu perusahaan dan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk di masa mendatang, Rasulullah telah menyarankan untuk berhemat dan menabung seperti sabdanya di bawah ini, yang artinya : “Allah menyayangi orang yang mencari nafkah yang baik dan menafkakannya secara sederhana (tidak berlebih-lebihan) serta menabung sisanya untuk persiapan pada hari ia membutuhkan dan pada hari fakirnya”. Pengaplikasian asumsi ini adalah untuk penentuan dan perhitungan laba serta menghitung harga-harga sisa suplai untuk tujuan penghitungan zakat harta. Dari sini dapat dipahami bahwa perhitungan zakat itu berdasarkan berkelanjutan (kontinuitas) sebuah perusahaan dan bukan berdasarkan penutupan atau likuidasi suatu perusahaan. Asumsi ini diterapkan pada akad mudharabah dan musyarakah adalah untuk suatu jangka waktu tertentu, tetapi akad ini diasumsikan terus berlanjut sampai satu atau semua pihak yang terlibat memutuskan untuk mengakhiri akad tersebut. Jarang terjadi pendirian bank atau perusahaan didirikan dengan harapan akan beroperasi hanya dalam periode tertentu. Pada umumnya, mustahil bisa ditentukan sebelumnya umur bank atau perusahaan, dan karenanya harus ditetapkan suatu asumsi. Sifat asumsi ini akan mempengaruhi cara pencatatan beberapa transaksi bank, yang sebaliknya akan mempengaruhi data yang dilaporkan dalam laporan keuangan, biasanya diasumsikan bahwa suatu kesatuan usaha diharapkan akan terus aktif dalam kegiatan usahanya secara menguntungkan dalam kurun waktu yang tak terbatas. Konsep going concern ini juga dapat dipergunakan untuk memotivasi agar direktur atau manajer bersikap forwad looking melihat jauh ke depan dan nasabah bank atau investor perusahaan pun dengan pemahaman ini ia akan bersedia menanamkan modalnya dalam bank atau perusahaan.

Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan dan Standar AkuntansiKonsep Priodesasi. Konsep ini menggambarkan bahwa walaupun akuntansi itu memegang konsep going concern namun posisi keuangan hasil usaha dan perubahannya harus dilaporkan secara periodik, bisa per bulan, per semester, atau tahunan. Dalam Islam dikenal dengan istilah haul (pentahunan) dalam suatu anggaran perusahaan. Dasar ini adalah firman Allah surat At-Taubah: 36
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan…”. Sebagaimana dalam hasyiah Ibnu Abidin, Raddul Muhtar ‘ala ad-Durril Muhtar, yaitu sangatlah penting penghitungan di akhir tahun untuk mengetahui barang-barang dan keuangan pada tanggal tertentu dan juga untuk mengetahui jumlah kekayaan seseorang pada waktu itu. Selanjutnya, ia berkata bahwa pusat keuangan dalam sebuah perusahaan ialah sebagai penjelas bagi nilai barang-barang tertentu pada periode tertentu. Di dalam bank syariah mempunyai kewajiban untuk menyajikan laporan berkala yang mencerminkan posisi keuangan pada tanggal tertentu dan hasil-hasil operasinya selama jangaka waktu tertentu guna mengungkapkan hak-hak dan kewajiban bank dan hak-hak pihak tertentu.

Stabilitas Daya Beli Unit Moneter. Dalam konsep ini setiap transaksi harus diukur dengan suatu alat ukur atau alat tukar yang seragam. Alat ukur yang dipakai dalam akuntansi adalah alat ukur moneter. Konsep ini menimbulkan beberapa keterbatasan akuntansi, pertama akuntansi terbatas pada pemberian informasi yang dijabarkan dalam ukuran moneter (uang), tidak mencatat informasi relavan lainnya yang sifatnya non-moneter, sehingga akuntansi dianggap hanya informasi yang kuantitatif, formal, terstruktur, dapat diaudit, dan berorientasi masa depan. Keterbatasan yang kedua adalah terkandung dalam unit moneter itu sendiri yang sifatnya tergantung pada kemampuan daya beli (purchasing power). Kenyataannya adalah daya beli uang itu tidak stabil, cenderung menurun. Jadi untuk tujuan akuntansi keuangan untuk bank-bank syariah, diasumsikan bahwa terdapat stabilitas daya beli unit moneter.
Bank Syariah sebagai bank yang operasionalnya dilandasi oleh nilai-nilai yang Islami harus mempunyai sifat amanah. Salah satu implikasi penerapan sifat amanah adalah pembuatan laporan yang transparan dan tidak melakukan window dressing. Dalam kasus di atas, maka PSAK 59 harus dianggap sebagai konsep temporer yang mesti disempurnakan setelah kerangka akuntansi Islam yang estabilished lahir dari idiologi masyarakat, serta sistem ekonomi dan akuntansi yang Islami.

Penulis adalah Ka.Prodi. Akuntansi Syariah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Syariah Bengkalis.